Assaalam,
Hola ganbro n sisbro semua, semoga diberikan kesehatan dan keselamatan hingga sampai dikampung halaman dan kembali dengan selamat juga hehe. yap ga terasa ramadhan udah mau berakhir, sedih rasanya ya, mari kita berdoa semoga dapat dipertemukan lagi denga ramadhan ramadhan selanjutnya. Nah ganbro n sisbro semua sudah sampai ke kampung halaman kah?sudah ditanyain kapan kawin kah? wkwkwk pertanyaan yang paling sakti dan menusuk, apalagi buat ganbro n sisbro yang masih belum punya pasangan, alias jomblo :p
Nah kali ini masih mau ngomongin seputar mudik sih, yap seperti yang kita tau mudik biasanya cukup menyita dan memakan waktu ya gan n sisbro, apalagi yang kampungnya di jawa, biasanya tuh karena gue kerja dicikarang, hari terakhir kerja itu saat gue pulang kerja pasti udah macet parah karena bertemu dengan arus pemudik. Biasanya mereka touring beberapa motor apabila yang naik motor, dan itu bisa dilihat dari bekasi, cibitung, cikarang, hingga karawang itu padet nya poool abis. Yah kalau untuk pemudik yang naik mobil ke jawa udah lumayan ya karena udah ada tol baru saat ini, namun tetap aja yang namanya pulang kampung via darat identik dengan kemacetan wkwkw.
Yap berhubung karena adanya macet inilah, estimasi perkiraan kita sampai biasanya jadi melar, karena macetnya arus mudik ini. Kadang kita melewatkan beberapa waktu shalat demi menghindari macet dan sampai lebih cepat di kampung halaman, yap kita seringkali melakukan jamak pada shalat kita ketika kita akan bepergian yang menguras waktu. Jadi kali ini gue mau bahas tentang seputar shalat jamak nih gan n sisbro, so cekidot yaaa...
Shalat yang digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan dalam satu waktu. Misalnya, shalat dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur atau pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.
Sedangkan Subuh tetap pada waktunya dan
tidak boleh digabungkan dengan shalat lain. Shalat Jamak ini boleh
dilaksankan karena bebrapa alasan (halangan) berikut ini:
a. Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat
b. Apabila turun hujan lebat
c. Karena sakit dan takut
d. Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni 81 km (Begitulah yang disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan dalam kitab AL-Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba’ah, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali.)
Tetapi sebagian ulama lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua marhalah, yaitu 16 (enam belas) Farsah, sama dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh
siapa saja yang memerlukannya-baik musafir atau bukan- dan tidak boleh
dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan
saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah
:”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh
menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai
kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ara
Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa
sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan
hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau
menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin
memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
Shalat jamak dapat dilaksanakan dengan 2 (dua) cara:
1. Jamak Taqdim (Jamak yang didahulukan) yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib.
Syarat syah Jamak Taqdim ialah:
a. Berniat menjamak shalat kedua pada shalat pertama
b. Mendahulukan shalat pertama, baru disusul shalat kedua
c. Berurutan,
artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali
duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting
2. Jamak Ta’khir (jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’
- Syarat Sah Jamak Ta’khir ialah:
a. Niat (melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta’khirkan shalat Dzuhurku diwaktu Ashar.”
b. Berurutan,
artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali
duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting.
NOTE : Dalam Jamak ta’khir tidak
disyaratkan mendahulukan shalat pertama atau shalat kedua. Misalnya
shalat Dzuhur dan Ashar boleh mendahulukan Ashar baru Dzuhur atau
sebaliknya. Muadz bin Jabal menerangkan bahwasanya Nabi SAW dipeperangan Tabuk,
apabila telah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau
kumpulkan antara Dzuhur dan Ashar dan apabila beliau ta’khirkan shalat
Ashar. Dalam shalat Maghrib begitu juga, jika terbenam matahari sebelum
berangkat, Nabi SAW mengumpulkan Maghrib dengan
Isya’ jika beliau berangkat sebelum terbenam matahari beliau
ta’khirkan Maghrib sehingga beliau singgah (berhenti) untuk Isya’
kemudian beliau menjamakkan antara keduanya.
MENJAMA’ SHOLAT JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan menjama’ antara
shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alasan apapun-baik musafir,
orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah
orang yang di perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil
tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’
antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak
bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara
keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang
mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan
dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal
ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi kembali pada hukum asal, yaitu
wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila
ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378)
SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut
tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya
untuk mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat
imam Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat
AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi
4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi
Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam
safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat
Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang di jama’ dengan
Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73).
Demikian pula para Khulafa’ Ar Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu
anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang
setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya
dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur
Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al
Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat
Jum’at.”
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Ibnul Mundzir rahimahullahu menyebutkan
bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang berdasar hadist
shaihi dalam hal ini sehingg tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Shalat yang diringkas, yaitu shalat
fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur, Ashar dan Isya’) dijadikan 2
(dua) rakaat, masing-masing dilaksanakan tetap pada waktunya.
Sebagaimana menjamak shalat, mengqashar shalat hukumnya sunnah. Dan
ini merupakan rushah (keringanan) dari Allah SWT bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu.
Adapun syarat syah shalah Qashar sama dengan shalat Jamak, hanya ditambah :
1. Shalatnya yang 4 (empat) rakaat
2. Tidak makmum kepada orang yang shalat sempurna
3. Harus memahami cara melakukan
4. Masih dalam perjalanan, bila sudah sampai dirumah harus dikerjakan sempurna walaupun tetap jamak.
- Perhatikan Hadist Nabi SAW :
”Rasulullah SAW tidak bepergian, melainkan mengerjakan shalat dua
raka’at saja sehingga beliau kembali dari perjalanannya dan bahwasanya
beliau telah bermukim di Mekkah di masa Fathul Mekkah selama delapan
belas malam, beliau mengerjakan shalat dengan para Jama’ah dua raka’at kecuali shalat Maghrib. Kemudian bersabda Rasulullah SAW: ”Wahai penduduk mekkah, bershalatlah kamu sekalian dua raka’at lagi, kami adalah orang – orang yang dalam perjalanan.” (HR. Abu Daud)
- Sedangkan cara melaksanakan shalat Qashar adalah :
1. Niat shalat qashar ketika takbiratul ihram.
2. Mengerjakan shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua rakaat kemudian salam
- Firman Allah SWT
”Bila kamu mengadakan perjalanan dimuka bumi, tidaklah kamu berdosa jika kamu memendekkan shalat...” (QS. An-Nisa: 101)
- Nabi SAW bersabda:
”Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ”Shalat itu difardhukan atau diwajibkan atas lidah Nabimu didalam hadlar (mukim) empat rakaat, didalam safar (perjalanan) dua rakaat dan didalam khauf (keadaan takut/perang) satu rakaat.” (HR. Muslim)
JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR
Qashar hanya boleh dilakukan oleh
Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang
membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian
boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar
menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan
safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak
rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat
Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua
Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath
Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan
kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya
mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang
menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-,
karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang
layak berijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir diperbolehkan
mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong halamannya
sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu Mundzir: “Aku tidak
mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar
(meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata Anas radhiallahu ‘anhu: “Aku
shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah
empar raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.”
(HR. Bukhari, Muslim dll).
Yap kurang lebih begitu sih yang gue dapetin dari sumber, semoga menambah wawasan kita semua ya gan n sisbro, apabila ada kesalahan mohon dikoreksi ya, dan untuk lebih jelasnya gan n sisbro bisa lihat langsung kesumber, karena gue pun masih belajar hehe. Jadi ga ada alasan ya untuk engga mengerjakan shalat ketika dalam perjalanan (musafir), tuh lihat kan betapa Allah SWT sudah memberikan keringan kepada kita :)
0 Response to "Tentang Shalat Jamak dan Qashar"
Post a Comment